Translate

Minggu, 24 Mei 2015

MESJID JAMI' SUNGAI BANAR

Masjid Jami Sungai Banar terletak di tepi Sungai Banar, sekitar 3 km dari Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Tepatnya, di perbatasan Desa Jarang Kuantan dan Desa Ujung Murung (sebelumnya masuk Desa Ilir Masjid).

Masjid pertama di Amuntai ini berdiri pada tahun 1804 M (1218 H). Terdokumentasi dalam catatan pahatan pada bedug yang masih dimanfaatkan.
Dikisahkan, sejumlah warga Amuntai yang sedang berguru kepada Waliyullah Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari (1710-1812M) di Martapura, menerima saran dari Syekh agar dibangun sebuah masjid di wilayah Amuntai. Kebetulan saat itu memang belum ada masjid. Selain itu Sang Wali juga memberikan sebuah Kitab Suci Al Qur’an tulisan tangan.

Peristiwa Aneh

Bak gayung bersambut, saran itupun disambut hangat warga Amuntai. Secara bersama, masyarakat mempersiapkan pembangunan masjid, seperti batu-batu, kayu, sirap,dll. Hingga kini, bahan baku masjid seperti kayu ulin, tiang, balok, papan dan sirap masih dapat disaksikan di sekitar masjid. Lokasi pertama yang dipilih sekitar 500 meter dari lokasi masjid yang sekarang.
Keanehan terjadi menjelang pemasangan tiang masjid (batajak tiang-bahasa Banjar). Mendadak masyarakat terkejut melihat sejumlah tiang besar yang terbuat dari kayu ulin itu hilang dari tempat pembuatannya. Setelah dilakukan pencarian, tiang-tiang itu ditemukan di tepi sungai di lokasi yang sekarang. Ketika itu, sungainya belum ada namanya.
Tentu saja kegaduhan muncul mengenai siapa yang memindahkan tiang-tiang yang memiliki bobot beberapa ton itu. Untuk mengangkat satu tiang saja dibutuhkan puluhan orang, apalagi lebih dari satu tiang. Padahal malam sebelumnya, masyarakat masih melihat tiang-tiang tersebut.
Keanehan itu pada akhirnya dipandang sebagai sebuah isyarat gaib bahwa lokasi masjid haruslah di tempat tiang-tiang itu berada sekarang. Maka dimulailah pembangunan masjid tersebut. Di kemudian hari tiang-tiang masjid tersebut ada yang mengeramatkan.
Bangunan asli masjid berukuran 25 x 20 meter. Berbentuk mirip Rumah Adat Banjar (panggung), memakai tiang dan bertingkat. Bahan-bahan rangka, lantai dan dinding papan dari kayu ulin dengan bagian atap dari sirap yang tinggi. Ketika itu belum dibuat menara.
Sedangkan mimbar khotbah merupakan wakaf pribadi H. Mahmud yang ukirannya dikerjakan 2 orang ahli ukir pada masa itu, yaitu Buha dan Thahir. Mimbar itu terbuat dari kayu ulin, berukuran 3,8 m x 1 m dengan total tinggi 4,5 meter terdiri dari badan 2 meter dan menara 2,5 meter. Usai masjid dibangun, terjadi lagi peristiwa aneh.

Pria misterius

Ketika itu masyarakat bersyukur menyaksikan jerih payahnya rampung. Merekapun bermusyawarah menentukan nama terbaik buat masjidnya itu. Tetapi belum ada keputusan yang diambil.
Tiba-tiba datanglah sebuah perahu yang merapat di tepi sungai dekat masjid. Penumpang perahu yang tampak seperti pedagang itupun turun dan meminta izin masyarakat untuk menunaikan shalat. Karena kebetulan bertepatan tibanya dengan waktu shalat. Tentu saja masyarakat merasa senang, karena orang itu merupakan jamaah shalat yang pertama dari daerah lain.
Setelah shalat, orang itu kembali melanjutkan perjalanannya. Tetapi masyarakat terkejut melihat sebuah kantong berisi uang (kadut duit-bahasa Banjar) tertinggal di tepi sungai dekat perahu tadi bersandar. Merekapun sepakat untuk menyimpannya kalau-kalau orang itu kembali. Apalagi setelah diingatnya orang itu berperilaku baik dan alim.
Benar saja, beberapa hari kemudian orang itu datang lagi. Masyarakat pun kembali bergembira melihat si pemilik kantong berisi uang yang cukup banyak itu. Mereka bukan saja menyerahkan hak orang itu, melainkan juga menjamunya makan.
Pada waktu itulah, orang yang tidak diketahui jatidirinya itu berkata, “Urang-urang sini banar-banar kadada nang culasnya (orang-orang di sini semuanya jujur, tidak ada yang culas atau curang-demikian terjemahan daribahasa Banjar)”.
Kemudian orang itu bertanya seputar nama sungai tempat perahunya ditambat dan juga nama masjid yang baru diban

Tidak ada komentar: