Translate

Minggu, 24 Mei 2015

SURGI MUFTI

Surgi Mufti Penakluk
Belanda

Mengenal Syekh Jamaluddin
Al-Banjari, Ulama Haramain
dari Tanah Banjar

BERPERANG tanpa konfrontasi.
Berjuang tanpa senjata. Dihormati
petinggi Belanda, tetapi tidak pernah
mengkhianati bangsa. Begitulah
sosok Syekh Jamaluddin Al-Banjari
atau Tuan Guru Surgi Mufti.
Dilahirkan di Desa Dalam Pagar,
Astambul, Martapura pada tahun
1817, putra pasangan Haji Abdul
Hamid Kosasih dan Hj. Zaleha ini,
tumbuh di lingkungan agama yang
kuat.
Dia adalah buyut Syekh
Muhammad Arsyad Al-Banjari alias
Datuk Kalampayan. Sejak remaja, dia
sudah menimba ilmu di tanah suci
Makkah Al-Mukarromah. “Dia
termasuk jaringan ulama Haramain
(tanah haram). Baru sekitar tahun
1894, beliau kembali ke Banjarmasin
di masa-masa konfrontasi dengan
Belanda yang menjajah kita,”

Sekembalinya ke tanah
Banjar, Surgi Mufti dihadapkan
dengan dua pilihan. Apakah ikut
konfrontasi menghadap penjajah dan
bergabung dengan pasukan
Pangeran Antasari, atau memilih
berdakwah meski harus ‘berkawan’
dengan Belanda. Pada tahun 1899,
H.Jamaluddin akhirnya memutuskan
menjalankan dakwahnya setelah
Belanda mengangkatnya sebagai
mufti.
“Jabatan mufti adalah
jabatan penting pada masa itu,
setarap dengan menteri atau hakim.
Putusannya adalah menjalankan
syariah hukum Islam bagi warga
Banjar,”

Tidak hanya itu, Mufti
Jamaluddin juga terkenal sebagai
ahli falaqiyah (astronomi). “Dialah
yang memutuskan awal dan akhir
Ramadan, berdasarkan perhitungan
hilal yang dia kuasai. Bahkan
urusan bertani di masa itu, kapan
waktunya bercocok tanam yang baik,
juga menjadi bidang yang
dikuasainya,”
Sebagai ulama dan
pendakwah, kekuatan ilmunya
sudah mencapai titik tertinggi
dengan berbagai karomah yang
dimiliki. Dalam sebuah ceramah di
hadapan murid-muridnya, Surgi
Mufti mengatakan bahwa di setiap
ada air pasti ada ikannya. Ternyata
pernyataan ini terdengar petinggi
Belanda dan memanggilnya untuk
melakukan tes kebenaran
ucapannya.
“Jika ada air ada ikan, maka
apakah mungkin di dalam air kelapa
juga ada ikannya,” tantang petinggi
Belanda, meragukan ucapan
H.Jamaluddin. Akhirnya sebiji kelapa
muda dibawa kehadapan Surgi Mufti.
Kelapa muda ini pun di belah,
seketika airnya muncrat dan saat
bersamaan seekor ikan sepat
menggelepar keluar dari buah kelapa
tadi.
Sejak kejadian itu, petinggi
Belanda semakin menaruh hormat
kepada Syekh Jamaluddin. Sebab
tidak hanya ahli ibadah dan kuat
dalam agama, tetapi juga piawai
dalam perkara dunia. Sebagai bentuk
penghargaannya, pihak Belanda saat
itu menjuluki H. Jamaluddin Al-
Banjari sebagai Surgi Mufti.
“Istilah surgi itu berarti suci,
mufti artinya pemimpin. Julukan ini
diberikan oleh Belanda karena sikap
istiqomahnya beliau yang memiliki
kesucian hati dan tekun beribadah,”
Meski hidup dan tumbuh di
lingkungan Pemerintah Belanda,
namun kelebihan Surgi Mufti tetap
bergaya ulama. Keteguhannya
beribadah menjadi bukti, betapa
kekuatan ilmu agama lebih mulia
daripada urusan dunia.
Tak salah pula jika
kepemimpinannya disukai Belanda,
tetapi dakwahnya dinantikan murid-
muridnya. “Dia itu terkenal
mengadakan pengajian duduk.
Artinya dia tidak berdakwah dari
rumah ke rumah. Tetapi justru
warga yang berdatangan ke
rumahnya. Tidak hanya jamaah dari
Kalsel, tapi juga dari Kalteng, Kaltim
dan Kalbar,”

penjaga Kubah Surgi Mufti.
karomah lain Surgi
Mufti yang lain adalah saat beliau
melakukan perjalanan dari Sungai
Jingah menuju Desa Dalam Pagar. Di
perjalanan itu salah satu warga
melapor perhiasan emas mereka
terjatuh dan hilang di sungai.
Dengan merentangkan salah satu
tangannya ke sungai, perhiasan
yang tenggelam itu tiba-tiba ada di
tangannya.
“Bahkan dalam perjalanan
menggunakan jukung itu, Surgi
Mufti memakai jukung bocor.
Berhari-hari di jalan, jukungnya
baru tenggelam setelah sampai di
Martapura,”
Di bidang sosial kemasyarakatan,
Surgi Mufti juga berandil dalam
membuka jalur jalan dari Desa Dalam
Pagar menuju Desa Kelampayan.
“Bahkan dialah yang membuat atang
(cungkup) makam datuknya, Syekh
Muhammad Arsyad Al-Banjari,”
Tepat
tanggal
8
Muharram 13

Tidak ada komentar: